Pemetaan Gambut Untuk Konservasi Atau Restorasi Lahan Dengan Teknologi "LiDAR"




Badan Restorasi Gambut menyerahkan hasil pemetaan Iahan gambut secara menyeluruh yang diproduksi menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR) kepada Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Informasi Geospasial.

Pentingnya Peta Akurat sebagai Acuan Bersama Pengelolaan Gambut
DaIam upaya melakukan restorasi dan konservasi lahan gambut, dibutuhkan sebuah peta dengan akurasi tinggi yang bisa dijadikan acuan bersama para pemangku kepentingan yang terIibat. Pembina Yayasan Dr. Sjahrir, Dr. Kartini Sjahrir mengatakan, ”Salah satu instrument panting dalam mendukung pengelolaan gambut adaIah tersedianya peta gambut yang akurat. Karena itu, hari ini kita diskusikan bersama, ” ungkapnya saat membuka acara diskusi bertema Pemetaan Gambut untuk Konservasf & Restorasi di Hotel Akmani, Jakarta (31/10).

Indonesia memiliki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut tersebut dapat menyusut atau bahkan hilang. Karena itu, pemantauan lahan gambut secara periodik sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, adaIah pemanfaatan lahan gambut yang dikeIoIa secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air. Padahal pengelolaan lahan gambut yang tepat merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon.

Mengenai peta gambut di Indonesia, menurut catatan Kazuyo Hirose,dari Japan Space System, sejak tahun 1970 an sampai 2011, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sejumlah Iembaga dan perguruan tinggi telah membuat peta gambut skala Iokal dan national. Namun Iaporan hasilnya menunjukkan perbedaan, dengan rentang selisih antara 13,5-26,5 juta hektar.

Namun, menurut World Resources Institut (WRI Indonesia) semua peta gambut yang Iersedia di Indonesia masih dalam skala kecil, sehingga belum bisa menjawab permasalahan pengelolaan gambut dan restorasi di tingkat tapak.

Menurut Deputi I bidang Perencanaan dan Kerjasama Badan Restorasi Gambut (BRG), Dr.Budi Satyawan Wardjama,BRG yang dibentuk pemerintah tahun 2016 dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidroIogis gambut akibat kebakaran hutan. AwaInya bekerja menggunakan data peta yang ada yang belum terupdate dan kurang memadai. ” Ada 14 peta dan semua beda-beda, untungnya ada waIi data peta tanah dan peta lahan gambut Balitbangtang Kementan. Tapi sayangnya data terakhir tahun 2011 dan belum terupdate,”ungkap Budi Satyawan

Budi Satyawan menjelaskan, dari peta indikatif yang ada dari KLHK (skala 1250.000), BRG melakukan inventarisasi dan pemetaan ekosistem gambut, kemudian melakukan pemetaan skala besar dan melakukan identifikasi kondisi hidrotopografis, kerusakan gambut dan tutupan, serta sosio-ekonomis.

ERG menggunakan teknologi LIDAR (Light Detection Ranging) yang dapat menghasukan peta shin bow Mags: 1: 2.500, dan mendapatkan data“ kondisi yang bisa ditampilkan dangan pemodelan tiga dimensi.

Pemerintah juga menyadari pentingnya peta yang Iebih akurat, dan bisa digunakan sebagai acuan bersama dalam menentukan sebuah kebijakan. Karena itu, tahun 2016 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2015, Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat KeteIitian Peta SkaIa 1: 50.000.

Percepatan Pelaksanaan KSP pada tingkat ketelitian peta skaIa 1:50.000 bertujuan untuk terpenuhinya satu peta yang mengacu pada satu referensi geospasial, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal guna percepatan pelaksanaan pembangunan nasionaI.

DaIam aturan ini, pemerintah menargetkan penyelesaian peta-peta tematik bertahap sesuai rencana aksi percepatan kebijakan satu peta sampai 2019. Kebijakan satu peta bertujuan antara Iain, memudahkan penyelesaian konflik, sampai tumpang tindih pemanfaatan Iahan.

Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial (BIG), Dr.Ir‘Nurwadjedi mengatakan BIG sudah menyelesaikan integrasi 63 peta di Kalimantan, dan target kerja BIG hingga akhir 2017 ini adaIah integrasi data 82 peta di PuIau Sumatera, 81 Peta di Pulau Sulawesi, dan 79 peta tematik

di Pulau Bali dan Nusa Tenggara. ” KaIau sekarang masih 1: 50.000, kedepan kita juga sudah merancang peta skaIa 1:5000," ungkap Numadjedi.

Untuk memetakan Iuasan dan ketebaIan gambut, selama ini para ilmuwan menggunakan penginderaan jarak jauh, radar, dan pengukuran Iapangan. Namun, belum ada metode yang disepakati bersama untuk mengukur ketebalan gambut. Tidak adanya kesepakatan inI teIah menghambat upaya untuk membuat peta yang paling bagus, tepat waktu, dan kredibel yang dapat meIacak perubahan Iuasan dan ketebalan gambut, serta emisi karbon terkait.

Untuk itu BIG bekerjasama dengan WRI juga mengadakan kompetisi Indonesian Peat Prize Kompetisi inI mengajak para iImuwan dari seluruh dunia untuk mengembangkan metode pemetaan Iuasan dan ketebalan gambut di Indonesia yang Iebih akurat, cepat, dan iImiah.

Kartini Sjahrir menyatakan, dari diskusi kaIi ini bisa disimpquan pentingnya Science Base Soluticn daIam meIakukan upaya konservasi dan restorasi. ”Dalam membuat kebijakan apapun pemerintah memang harus menggunakan data yang akurat, dan untuk memperoleh itu penerapan teknoIogi dan iImu pengetahuan dengan standar internasional sangat dibutuhkan,” tutupnya.

Pemetaan menggunakan teknologi LiDAR, dengan skala besar yaitu 122.500. Artinya, tiap satu centimeter di peta sama dengan dua puluh lima meter di permukaan bumi. memfokuskan pandangan untuk erestorasi lahan gambut pada tujuh provinsi di Indonesia yang memiliki lahan 15 juta ha lahan gambut, 12.9 juta ha lahan yang harus di tangani BRG, 87 persen total lahan gambut yang harus jadi tanggung jawab BRG, dilakukan di empat kabupaten prioritas tahun pertama restorasi gambut, yaitu Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir di Provinsi Sumatera Selatan; Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, dan Kepulauan Meranti di Provinsi Riau. Hasil pemetaan akan digunakan BRG dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peta gambut bagi konservasi dan restorasi lahan.
Mengenai metodologi/ teknologi pemetaan gambut di Indonesia dan Internasional, serta bentuk fisik dan digital peta lahan gambut.


BRG harus mempunyai strategi untuk menentukan mulai darimana untuk pekerjaan merestorasi gambut, dengan pemetaan KHG, agar pekerjaan lebih efektif.

"BRG tidak bekerja sendirian, karena dibantu oleh kementerian PU, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akademisi dari IPB dan UGM, perusahaan-perusahaan, dan juga masyarakat sekitar Iahan gambut, bahwa dalam proses merestorasi gambut, BRG akan merangkul dan bekerja sama dengan semua pihak terakait agar terbangun sinergi dan kerjasama yang baik untuk memulihkan Iahan gambut di Indonesia," Ujar Nasir Foead.

Pemanasan global yang berdampak kepada terjadinya perubahan lkllm merupakan isu sentral didalam pembangunan nasional. Perubahan lklim disebabkan oleh aktivitas manusia yang menghaslikan emisi gas rumah kaca baik dan penggunaan bahan bakar berbasls fosil di sektor Industri, energi ataupun transportasi. konversi lahan aklbat kegiatan perkebunan/pertanian dan Industri sektor kehutanan, serta pengelolaan limbah.
Intervensi restorasi dan mendukung proses penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, serta pengaturan tata kelola air di Iahan gambut.

Sejalan dengan upaya pengendalian perubahan iklim yang semakin meningkat, perhatian masyarakat dunia akan pentingnya konservasi lahan gambut Juga semakin tinggi. Emisi gas rumah kaca dari lahan gambut di Indonesia merupakan kontnbutor emisi gas rumah kaca nasional. Dalam hal ini, Indonesia mengelola lahan gambut secara benar dan Iestari.

Gambut menurut Peraturan Pemerintah (PP) 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dldefinisikan sebagai material organik yang terbentuk secara alami dan sisa-sisa tumbuhan yang sebagian telah terdekomposisi dan terakumulasi pada rawa dan genangan air. Bagi masyarakat Indonesia, lahan gambut memiliki nilai sangat penting sebagai area penyimpan air, penyedia hasil hutan dan hasil perkebunan. menyimpan karbon dan Juga rumah bagi berbagai keanekaragaman hayati,Bagi sebagian masyarakat, lahan gambut telah menjadi kawasan yang memberikan kontnbusi ekonomi bagi kehndupan mereka. Namun, eksploitasi lahan gambut dengan cara dikeringkan dengan membuat kanal kanal akan menyebabkan ancaman terhadap terjadinya kebakaran dilahan tersebut.

Pemerintah Indonesia telah mencanangkan komntmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 sejalan dengan Busuness As Usual dan 29% pada tahun 2030, dan mencapai
41% jika ada bantuan Internasional. Untuk mendukung komitmen tersebut, beberapa langkah akan dilaksanakan. Khusus dalam bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, langkah yang dilakukan
adalah dengan menetapkan kebijakan One Map Policy, moratorium dan review penerbitan Izin dalam pemanfaatan lahan gambut, serta pengelolaan lahan dan hutan secara berkelanjutan.

Indonesia memilki lahan gambut tropis yang luas. Lahan gambut dapat menyusut atau bahkan hilang. Untuk itu pemantauan lahan gambut secara periodlk sangat diperlukan. Penyebab umum penyusutan lahan gambut di Indonesia, umumnya disebabkan oleh pemanfaatan lahan gambut dan dikelola secara intensif tanpa mempertimbangan kaidah konservasi tanah dan air, Pengelolaan lahan gambut yang tapas merupakan salah satu upaya dalam memenuhi target penurunan emisi karbon.

Permasalahan pembangunan di ekosistem gambut menjadi perhatian, setelah terjadinya kasus
kebakaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia, khususnya di lahan gambut. Kerugian ekonomi, sosial dan Iingkungan yang ditimbulkan sangatlah besar. Data World Bank menyebutkan bahwa kebakaran lahan dan hutan tahun 2015 menyebabkan kerugian ekonomi senilai USD 16 milyar.

Perlindungan dan pemulihan fungsi ekologis lahan gambut menjadi priolitas untuk mencegah terulangnya bencana kebakaran dari lahan gambut. Untuk melaksanakan upaya konservasi dan restorasi gambut, maka dibutuhkan suatu peta gambut sebagai landasan kerja, baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis yang melakukan penanaman di kawasan gambut.

Pemerintah mengembangkan kebijakan dan peraturan yang dapat menjamin pembangunan berlandasakan sustainable forestry dan sustainable production. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 rahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, yang kemudian direvisi menjadi PP No. 57 tahun 2016. Pada awal tahun 2017, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan serangkaian Peraturan Menteri yang mendukung Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu: PermenLHK P.14/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penerapan Fungsi Ekosistem Gambut. PermenLHK P.15/2017 tentang Tara Cara Pengukuran Muka AIr Tanah di ka Penaatan Ekosrstem Gambut, Permen LHK P 16/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut. Serta, Permen LHK tentang Perubahan P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman lndustri (HTll, Keputusan Menteri LHK [KepmenLHKl tentang Penerapan Peta Kesatuan HldfOlOgIS Gambut (KHG) dan KepmenLHK tentang Penetapan Peta Fangsi Ekosistem Gambut.

Salah satu Instrument penting dalam mendukung pengelolaan gambut adalah tersedianya peta gambut yang akurat. Beberapa institusi telah melakukan kajian pemetaan lahan gambut, namun dengan hasil luasan lahan gambut yang berbeda-beda. Indonesia memiliki beberapa peta gambut yang diterbitkan oleh Program Perencanaan Fisik Regional untuk Transmigrasi [Regional Physrcal Planning Programme for Transmigration/ RePPPRoT) (1989), Wetlands Internanonal (2004), dan Kementerian Penaman (2011). Peta gambut tersebut memiliki resolusi 1.250.000.

Wetlands Internanonal pada tahun 2004 menyatakan bahwa luasan lahan gambut di lndonesia adalah 20,6 juta hektar. Pada tahun 2011, Kementerian Pertanian melakukan pemutakhiran data spasial lahan gambut yang dlterbitkan Wetland International dan menyatakan bahwa luas lahan gambut di Indonesia adalah 14,9]uta hektar dan tersebar di pulau Sumatra, Kalrmantan dan Papua.


Perbedaan area gambut tersebut disebabkan antara lain oleh adanya perbedaan definisi gambut itu sendiri, metodologi , kesulitan menilai kadar air, kurangnya data, langkanya bukti valid dan lapangan dan resolusi pemetaan yang digunakan.

Dalam hal Intervensi pemerintah, terutama dalam program konservasi dan restorasi, maka kesediaan peta dengan skala yang lebih detil akan memudahkan dikembangkannya kebijakan dan program yang tepat. Hal ini diharapkan dapat menghentikan kerusakan lahan gambut dan membantu negara mengembangkan program pembangunan berkelanjutan. Jikapun upaya pembangunan tetap harus dilakukan, maka peta gambut sangat membantu untuk mengidentifikasi teknologi. upaya pembangunan dan evaluasi terhadap upaya tersebut.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sophie Martin Plaza Semanggi Keren

PT Bintang Anugerah Kencana Sebagai Distributor Nasional Indonesia Yang Ditunjuk Oleh F-Secure

Familiar Song Gerald Situmorang